Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2025

Menghadirkan Hati dalam Salat

  Menghadirkan Hati dalam Salat: Kisah Sahabat dan Jawaban Rasulullah Salat adalah momen paling intim antara seorang hamba dan Tuhannya. Namun, tidak jarang dalam salat kita terganggu oleh lintasan pikiran dunia, hati melayang ke urusan-urusan yang seharusnya ditinggalkan sejenak. Ternyata, fenomena ini sudah pernah dialami oleh para sahabat Rasulullah ﷺ. Pertanyaan Seorang Sahabat Suatu ketika, ada seorang sahabat yang datang kepada Rasulullah ﷺ dan mengadu, "Wahai Rasulullah, ketika aku sedang salat, pikiranku sering melayang ke mana-mana, teringat urusan dunia, dan aku tidak mampu menghindarinya." Keluh kesah ini sangat manusiawi. Bahkan para sahabat pun merasakannya. Mereka bukan makhluk yang bebas dari kesalahan, tetapi justru dari mereka kita belajar bagaimana mencari solusi yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. Jawaban Rasulullah ﷺ Rasulullah ﷺ dengan penuh kasih sayang menjelaskan bahwa saat seseorang salat, setan akan selalu berusaha mengganggu. Pikiran yang mela...

Mendidik Anak Usia 12-17 Tahun ala Sayyidina Ali:

  Mendidik Anak Usia 12-17 Tahun ala Sayyidina Ali: Menjadi Sahabat dalam Proses Pendewasaan Masa remaja, yaitu usia 12 hingga 17 tahun, adalah fase yang penuh gejolak dalam perkembangan seorang anak. Mereka mulai mencari jati diri, membentuk cara berpikir, dan mulai membangun kemandirian. Sayyidina Ali bin Abi Thalib, seorang sahabat Rasulullah yang dikenal bijaksana, memberikan prinsip-prinsip mendidik anak yang sangat relevan dengan tantangan zaman ini, khususnya untuk anak remaja. Berikut adalah prinsip-prinsip mendidik anak usia 12-17 tahun ala Sayyidina Ali yang bisa kita terapkan: 1. Mengajarkan Toleransi dan Rasa Hormat Sayyidina Ali mengajarkan pentingnya menanamkan nilai toleransi dan rasa hormat kepada semua orang. Remaja perlu belajar menghargai perbedaan, baik dalam agama, pendapat, maupun latar belakang sosial. Mengajarkan anak untuk tidak mudah membenci dan selalu menjaga lisan akan membentuk kepribadian yang santun dan beradab. 2. Jangan Paksa Anak Menjadi Sep...

Mendidik Anak Usia 6–12 Tahun Ala Sayyidina Ali

  Mendidik Anak Usia 6–12 Tahun Ala Sayyidina Ali: Disiplin, Agama, dan Keteladanan Mendidik anak adalah tugas mulia dan amanah besar bagi setiap orang tua. Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, menantu dan sepupu Rasulullah ﷺ, memberikan nasihat emas tentang bagaimana mendidik anak sesuai tahapan usianya. Untuk anak usia 6 hingga 12 tahun, beliau menekankan pentingnya pendidikan melalui kedisiplinan, pembiasaan ibadah, dan pembentukan karakter. Berikut beberapa prinsip pendidikan anak usia 6–12 tahun ala Sayyidina Ali yang patut kita terapkan: 1. Ajarkan Disiplin Sejak Dini Usia 6–12 tahun adalah masa pembentukan kebiasaan. Sayyidina Ali menekankan pentingnya mengajarkan disiplin di usia ini, terutama dalam hal waktu, tanggung jawab, dan ibadah. Disiplin bukan berarti keras, tetapi konsisten. Anak diajak memahami aturan dengan kasih sayang dan ketegasan. "Disiplin itu bukan memaksa, tapi melatih anak untuk mengenali batasan dan tanggung jawab." 2. Pen...

Dldiklah Anak Sejak Dini Ala Sayyidina Ali Radya'anhu

Mendidik Anak Sejak Dini 0 - 6 th: Meneladani Sayyidina Ali r.a. Mendidik anak adalah amanah besar yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab, cinta, dan keteladanan. Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu—sepupu sekaligus menantu Rasulullah ﷺ—adalah salah satu teladan dalam pendidikan anak. Beliau pernah berkata: "Didiklah anakmu pada tujuh tahun pertama dengan penuh kasih sayang, tujuh tahun kedua dengan kedisiplinan, dan tujuh tahun ketiga dengan persahabatan." Maka, pada usia 0 hingga 6 tahun, anak perlu mendapatkan kasih sayang sepenuh hati . Ini adalah masa fondasi emas dalam pertumbuhan karakter, akhlak, dan kecerdasan emosional. 1. Curahkan Kasih Sayang Tanpa Syarat Anak usia dini butuh pelukan, senyuman, dan kehangatan. Dalam rumah tangga Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah, kita melihat bagaimana anak-anak seperti Hasan dan Husain tumbuh dalam suasana penuh cinta dan kelembutan. Rasulullah ﷺ pun sering mencium cucunya di depan sahabat sebagai b...

Didiklah Anakmu Seperti Sayyidina Ali bin Abi Thalib

  Didiklah Anakmu Seperti Ali bin Abi Thalib Meneladani Pendidikan Rasulullah ﷺ dalam Membangun Generasi Tangguh dan Bertakwa Dalam sejarah Islam, sosok Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu merupakan contoh sempurna hasil didikan Rasulullah ﷺ. Sejak kecil, Ali dibina dalam lingkungan iman, ilmu, dan akhlak. Ia tumbuh menjadi pemuda cerdas, pemberani, zuhud, dan penuh kasih sayang. Meneladani Ali dalam mendidik anak berarti menanamkan nilai-nilai Islam sejak dini, membangun karakter kuat, serta mempersiapkan generasi yang siap menghadapi tantangan zaman.1. Pendidikan Iman Sejak Dini Ali adalah anak pertama yang masuk Islam dari kalangan pemuda. Ketika banyak orang meragukan dakwah Nabi, Ali justru membelanya dengan mantap. Ini tidak lepas dari pembinaan keimanan yang konsisten sejak usia dini. Dalil Qur'an: “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...” (QS. At-Tahrim: 6) Hadis: Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam...

Kaya Karena Doa Nabi, Miskin Karena Lupa Diri

" Kisah Ibrah dari Sa'labah bin Hatib" Di masa Rasulullah ﷺ, hidup seorang sahabat bernama Sa’labah bin Hatib Al-Anshari . Ia bukan sahabat yang dikenal karena kekayaan atau kedudukannya, namun justru karena kesungguhannya dalam menjaga shalat tepat waktu , bahkan ketika masih hidup dalam kesederhanaan. Setiap kali shalat berjamaah bersama Rasulullah ﷺ, Sa’labah selalu hadir di saf awal. Namun setelah shalat selesai, ia langsung bergegas pulang tanpa berbincang seperti kebanyakan sahabat lainnya. Rasulullah ﷺ pun bertanya, “ Wahai Sa’labah, mengapa engkau selalu segera pergi setelah shalat? ” Dengan penuh kejujuran, Sa’labah menjawab, "Ya Rasulullah, aku hanya memiliki satu pakaian. Pakaian ini harus segera aku serahkan kepada istriku, agar ia juga bisa menunaikan shalat di rumahnya." Betapa besar perhatian Sa’labah terhadap ibadah, baik untuk dirinya maupun keluarganya. Mendengar ketulusan dan kesungguhannya, Rasulullah ﷺ mendoakan agar Allah memberkahi...

Kelihatannya Ibadah untuk Akhirat, Namun Hanya Mendapat Duniawi”:

  Kelihatannya Ibadah untuk Akhirat, Namun Hanya Mendapat Duniawi Dalam kehidupan ini, banyak amal ibadah yang secara lahiriah terlihat seperti bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Namun, sangat disayangkan, tidak sedikit di antaranya yang ternyata hanya bernilai duniawi di sisi Allah karena niat dan tujuannya telah melenceng. Ibadah yang seharusnya menjadi jalan menuju surga, justru hanya berujung pada pujian manusia, keuntungan materi, atau popularitas belaka. Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak memperoleh (apa-apa) di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud: 15–16) Contoh-Contoh Ibadah yang Ternoda Niatnya Istri Membuatkan Kopi Suami sambil Mengeluh....

Mengapa Ada Hari Tasyrik?

 Hari Tasyrik? 3 Hari yang Tidak Boleh Puasa, Apa Rahasianya? Dalam kalender Islam, setelah Hari Raya Idul Adha (10 Dzulhijjah), terdapat tiga hari penting yang disebut Hari Tasyrik , yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah . Meskipun masih berada dalam suasana ibadah haji dan kurban, umat Islam justru dilarang berpuasa pada hari-hari ini. Mengapa demikian? Apa rahasia di balik larangan tersebut? Mari kita telusuri jawabannya berdasarkan Al-Qur’an dan hadits. Apa Itu Hari Tasyrik? Hari Tasyrik adalah tiga hari setelah Idul Adha yang digunakan untuk menyempurnakan ibadah haji bagi jamaah di Makkah dan sebagai waktu memperbanyak dzikir, makan, dan minum bagi umat Islam secara umum. Kata “tasyrik” berasal dari bahasa Arab “ tasyriq ” yang berarti menjemur daging di bawah sinar matahari, karena pada zaman dahulu kaum Muslimin menjemur daging kurban pada hari-hari ini agar awet dan bisa dibagi-bagikan. Hadits Tentang Larangan Puasa di Hari Tasyrik Rasulullah SAW dengan tegas m...

Manusia itu Hamba

  Manusia Adalah Hamba, Maka Bersujud dan Patuh kepada Allah SWT Dalam kehidupan ini, setiap manusia memiliki tujuan hakiki yang ditetapkan oleh Penciptanya. Islam mengajarkan bahwa manusia bukanlah makhluk bebas tanpa arah, melainkan seorang hamba (‘abd) yang diciptakan untuk menyembah dan tunduk kepada Allah SWT. Ketaatan dan kepatuhan kepada Allah adalah inti dari keberadaan manusia di dunia ini. Manusia adalah Hamba Allah Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS. Adz-Dzariyat: 56) Ayat ini menegaskan bahwa eksistensi manusia di dunia ini adalah untuk beribadah, yaitu tunduk, taat, dan patuh sepenuhnya kepada perintah Allah. Dalam bahasa Arab, kata "ibadah" berasal dari kata "ʿabd" yang berarti hamba. Artinya, manusia adalah makhluk yang seharusnya senantiasa menyadari posisinya sebagai hamba di hadapan Rabb-nya. Makna Sujud: Simbol Kepatuhan dan Kerendahan Diri...

Pengajian Ahad Pagi di Masjid Firdaus Madiun

Qurban: Setiap Kita Punya “Ismail” yang Harus Dipasrahkan pada Allah Ibadah Qurban bukan sekadar menyembelih hewan. Lebih dalam dari itu, Qurban adalah simbol totalitas kepasrahan, ketaatan, dan cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Setiap tahun, ketika Idul Adha tiba, kita diingatkan pada kisah agung Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan putranya, Ismail, yang menjadi simbol pengorbanan terbesar dalam sejarah umat manusia. Siapa “Ismail” dalam Hidup Kita? Kisah Nabi Ibrahim bukan hanya sejarah. Ia adalah cermin kehidupan setiap insan beriman. Dalam diri kita, ada “Ismail-Ismail” yang kita cintai. Bisa jadi itu harta kita, jabatan, keluarga, ego, bahkan mimpi dan ambisi pribadi. Sesuatu yang begitu kita genggam, namun seringkali menjadi penghalang untuk total tunduk pada kehendak Allah. Qurban mengajarkan bahwa jika Allah memerintahkan, kita harus siap melepaskan “Ismail” itu—apapun bentuknya. Karena bukan dunia yang kita kejar, tapi akhirat. Bukan pujian manusia yang kita cari, tapi ridh...

Masjid Firdaus Madiun Kurban 5 Sapi dan 7 Ekor Kambing i

Pada hakekatnya berkorban adalah memotong sifat ego, kesombongan, kecongkaan, nafsu seperti hewan.  Ibnu Khosim sesungguhnya mereka punya hati tetapi tidak digunakan untuk merasakan kesedihan orang lain. Punya mata tidak digunakan untuk melihat kebesaran ciptaan Allah SWT. Selain itu juga untuk saling menjaga kebersamaan dan persaudaraan dengan yang lain  Para Pengorbanan  Alhamdulillah tahun ini dapat berkurban 5 lembu dan 6 kambing   

Masjid Baitul Falah Qurban 2 Sapi dan 4 ekor Kambing Madiun

  Pelajaran dari Qurban: 1. Keikhlasan Itu Mengalahkan Logika Bayangkan Nabi Ibrahim diminta menyembelih anaknya sendiri — ini tidak masuk akal . Tapi dari situ kita belajar: kadang iman menuntut tindakan yang tak sejalan dengan logika duniawi. Qurban mengajarkan bahwa ikhlas bukan saat kita rela kehilangan yang kecil, tapi saat kita rela melepaskan yang paling kita cintai — demi ketaatan. 2. Cinta Tak Boleh Melebihi Tuhan Ismail adalah putra yang sangat dinanti. Tapi Allah ingin menguji: apakah cinta Ibrahim kepada anaknya lebih besar daripada cintanya kepada Tuhan? Qurban mengingatkan kita untuk selalu bertanya: Apa yang aku cintai melebihi Allah dalam hidupku? Itulah yang harus “disembelih”. 3. Setiap Orang Punya Ismail Sendiri "Ismail" bukan cuma anak Nabi Ibrahim. Dalam hidup kita, Ismail bisa berupa ambisi, ego, harta, status, atau bahkan seseorang. Qurban mengajak kita merenung: Apa yang sulit aku lepaskan demi kebenaran dan ketakwaan? 4. Qurban Adala...

Sholat idul Adha Di Masjid Firdaus Madiun