Dalam kehidupan sehari-hari, hutang-piutang merupakan salah satu aktivitas sosial yang sulit dihindari. Seseorang bisa berhutang karena kebutuhan mendesak, sementara orang lain membantu dengan meminjamkan sebagian hartanya. Namun dalam Islam, masalah hutang tidak hanya sekadar soal angka, tetapi juga menyangkut nilai keadilan antara yang memberi hutang dan yang berhutang.
Hutang Uang dan Perubahan Nilai Barang
Contoh sederhana:
Pada tahun 2010, harga seekor kambing sekitar Rp1.000.000. Seseorang berhutang Rp1.000.000, lalu berjanji mengembalikannya di kemudian hari. Namun, pada tahun 2025, harga kambing melonjak menjadi Rp2.000.000.
Secara matematis, hutang Rp1.000.000 dibayar dengan Rp1.000.000. Namun, bila dihitung dari sisi nilai barang (kambing), maka yang berhutang sebenarnya mengembalikan dengan nilai yang lebih kecil dibandingkan saat ia menerima hutang dulu.
Di sinilah muncul pertanyaan:
- Apakah cukup membayar Rp1.000.000 tanpa menimbang perubahan nilai barang?
- Apakah menambahkan pengembalian karena inflasi atau kenaikan harga termasuk riba yang diharamkan?
Pandangan Islam tentang Hutang
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya."
(QS. Al-Baqarah: 282)
Ayat ini adalah dasar terpanjang dalam Al-Qur’an tentang hutang-piutang. Islam menekankan agar hutang dicatat dengan jelas, agar tidak terjadi perselisihan di kemudian hari.
Hadis Nabi SAW juga menyebutkan:
"Menunda-nunda pembayaran hutang bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, orang yang berhutang wajib menjaga amanah dan tidak merugikan orang yang memberi hutang.
Masalah Inflasi dan Nilai Barang
Ulama fiqih berbeda pendapat mengenai perubahan nilai uang akibat inflasi:
-
Pendapat pertama: Hutang harus dikembalikan sesuai jumlah nominalnya, karena uang dianggap sebagai alat tukar, bukan komoditas. Jadi, pinjam Rp1.000.000, kembalinya Rp1.000.000.
-
Pendapat kedua: Bila terjadi penurunan nilai uang yang sangat drastis, sehingga merugikan salah satu pihak, maka boleh dilakukan penyesuaian dengan kesepakatan kedua belah pihak. Hal ini bukan dianggap riba, tetapi sebagai bentuk keadilan.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah pernah berkata bahwa syariat Islam berdiri di atas keadilan. Maka, dalam hutang pun, keadilan harus ditegakkan agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Menjadi Pintar dalam Bermuamalah
Dalam Islam, kebodohan dalam bermuamalah bisa membawa pada kerugian, bahkan bisa menzalimi diri sendiri dan orang lain. Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain."
(HR. Ibn Majah)
Maka, bila seseorang berhutang Rp1.000.000 pada tahun 2010, lalu baru membayar pada tahun 2025, sebenarnya ia sedang mengembalikan dengan nilai yang lebih kecil. Jika dari awal tidak ada kesepakatan yang jelas, hal ini bisa menimbulkan kerugian dan ketidakadilan.
Solusi dalam Islam
Agar terhindar dari masalah ini, beberapa solusi dapat dilakukan:
-
Jelaskan di awal akad: Jika hutang digunakan untuk membeli barang tertentu (misalnya kambing), maka sebaiknya akad hutangnya berupa barang, bukan uang. Jadi jelas: meminjam kambing, mengembalikan kambing.
-
Sepakati dengan jelas: Jika hutang berupa uang, tuliskan jumlah nominal dan waktu pengembaliannya. Jika memungkinkan, sepakati juga bentuk kompensasi bila terjadi penurunan nilai uang yang signifikan.
-
Hindari riba: Jangan menentukan tambahan sejak awal (misalnya: pinjam Rp1 juta, kembalinya Rp1,5 juta). Itu jelas riba dan haram. Tetapi bila ada kesepakatan sukarela untuk menjaga keadilan akibat inflasi, ulama masih memberi ruang ijtihad.
Kesimpulan
Islam tidak hanya memerintahkan kita untuk mengembalikan hutang sesuai jumlahnya, tetapi juga mengajarkan keadilan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Pinjam Rp1 juta, kembalikan Rp1 juta memang sah, tetapi bila nilai uang sudah jauh berbeda, maka diperlukan kesepakatan yang bijaksana agar tidak ada yang merasa dizalimi.
Dengan demikian, kita sebagai umat Islam harus pintar dalam bermuamalah, tidak bodoh, dan tidak membiarkan orang lain rugi karena ketidakjelasan akad. Hutang bukan hanya soal angka, tetapi juga soal amanah dan keadilan di hadapan Allah SWT.
Komentar
Posting Komentar